"Jika anda tidak bisa menemukan makna kebahagiaan dari penjelasan ini, maka tidak ada lagi penjelasan yang lebih baik dari ini".
Bahagia bisa kita dapatkan dari banyak hal. Jika sesorang memberi hadiah, hati senang menerimanya. Jika anda dipuji orang, anda senang mendengarnya. Jika anda naik pangkat, anda bersuka cita merayakannya. Jika anda mendapat keberuntungan –keberuntungan yang lain, anda akan sangat bahagia mendapatkannya.
Namun, mengapa saat musibah menimpa seperti kebangkrutan usaha, dikhianati seseorang, gagal dalam ujian, seseorang yang anda sayangi meninggal atau segala berita menyedihkan lainnya anda akan sangat bersedih karenanya, bahkan anda akan putus asa, patah arang, dan menyalahkan takdir atau bahkan memprotes Tuhan.
Inilah karena kita belum menemukan sumber kebahagiaan kita sendiri. Inilah karena kita tidak mengerti makna kebahagiaan sesungguhnya ada dalam diri kita sendiri. Untuk memahaminya, mari kita simak cerita ini.
Alkisah ada seorang pengembara yang sangat gigih mencari makna kebahagiaan. Disusurinya jalan yang panjang, disebranginya hutan belantara, lembah demi lembah ia lewati, gunung demi gunung ia naiki, hanya untuk mendapatkan makna kebahagiaan yang abadi. Kebahagiaan yang tidak akan membuatnya bersedih lagi. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan seorang guru di sebuah gunung. Ia bertanya kepadanya akan makna kebahagiaan yang selama ini dicarinya. Sampai saat ini tidak ada yang bisa menjelaskan makna kebahagiaan yang diinginkannya yang dapat memuaskan hatinya. Sang gurupun tidak langsung menajwab. Ia merenung beberapa saat. Dan akhirnya mengeluarkan suara. “wahai anak muda jika kamu benar-benar ingin mendapatkan jawaban yang kau cari, buatlah sebuah danau untuk sebuah penduduk di sebelah bukit. Mereka tidak mempunyai sumber mata air untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jumlahnya kurang lebih dua ratus orang. Buatlah sebuah danau untuk mencukupi kebutuhan mereka semua. Danau yang bening seperti air mata”
Sejenak, sang pengembara berfikir, “bagaimana membuat sebuah danau sebening air mata untuk mencukupi kebutuhan dua ratus penduduk? Duhai.. danau.. sebening air mata? Dan seorang diri?”. Sungguh ini bukan pekerjaan mudah kawan. Namun, karena keinginannya yang begitu teguh untuk mendapatkan jawaban yang selama ini ia cari, akirnya dia menyetujui titah sang guru.
Ia berjalan menuju sebelah bukit. Lokasinya di tengah hutan yang luas. Ia mulai mengerjakan tugasnya. Perlahan, ia menggali tanah. Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu, hingga dalam waktu satu tahun, ia dapat membuat danau seluas lapangan sepak bola dengan kedalaman 3 meter. Airnya mengalir dari hutan. Melalui parit-parit kecil menuju danau. Ada sekitar 12 parit mengelilingi danau menyalurkan air dari hutan.
Sang pengembara sangat senang. Tugasnya telah selesai. Ia bisa membuat danau seorang diri seluas lapangan sepak bola dengan kedalaman 3 meter yang airnya juga jernih. Kemudian ia langsung memberitahukan kabar gembira ini kepada gurunya. Sang guru bersedia datang esok harinya. Namun, sayang sekali, malam sebelum gurnya datang menengok danau yang jernih hasil buatannya, hujan turun sangat lebat. Hingga pada pagi harinya saat gurunya datang, danau itu sudah berubah menjadi danau susu. Airnya menjadi coklat karena air hujan. Sang guru kecewa.
Ia berfikir bagimana caranya biar walaupun hujan turun, air dalam danau tidak keruh. Kemudian ia memasang saringan air yang lembut di setiap parit yang menuju danau. Wal hasil, danaunya kini jernih walaupun hujan lebat turun. Satu tahun telah berlalu untuk menyempurnakan pekerjaannya membuat danau yang jernih seperti air mata. Akhirnya, ia memanggil gurunya. Ketika guru melihatnya, ia mengambil kayu yang panjang, dan menusuk nusukkannya ke dalam danau. Maka air yang awalnya jernih bagai air mata, Nampak keruh karena lumpur yang naik akibat tusukan kayu. Guru menyuruhnya untuk mencoba lagi.
Kali ini ia benar-benar bekerja lebih giat lagi untuk membuat danau sejernih air mata. Ia menggali lagi terus menggali hingga menemukan dasarnya berupa bebatuan-bebatuan yang memancarkan air. Air jernih memancar dari dasar danau. Kemudia ia menutup semua parit-parit yang mengalirkan air dari hutan menuju ke danau. hasilnya, ia berhasil membuat danau yang jernih seperti air mata. dan kini, walaupun hujan lebat, atau gurunya menusuk nusukkan kayu panjang ke dasar danau, danau itu akan tetap jernih seperti air mata.
Nah inilah dia makna kebahagiaan yang selama ini ia cari. Tanpa penjelasan sang guru, ia telah lebih paham dari sang guru. Parit-parit yang mengalirkan air menuju ke danau itulah gambaran kebahagiaan yang selama ini kita dapatkan. Semua kebahagiaan itu dari luar. Maka ketika ada musibah atau berita buruk datang, ia akan kembali sedih seperti air yang keruh terkena hujan atau terkena tusukan kayu. Tapi saat kebahagiaan itu bersumber dari diri kita sendiri, air danau terpancar dari dasar danau, maka walaupun hujan lebat atau apapun yang menusuknya, ia akan tetap jernih. Begitulah hati kita. Jika kebahagiaan itu bersumber dari diri kita sendiri, maka ia akan tetap begitu.
Adapun untuk mendapatkan sumber air dari dasar danau itu, butuh perjuangan yang panjang, pengorbanan yang berat, dan kesabaran yang super untuk mendapatkannya. Kebahagiaan akan terpancar dari dalam hati kita sendiri, apabila kita telah melewati proses kehidupan yang menghilangkan semua lumpur-lumpur dia atasnya, hingga menyisakan batuan-batuan di dasarnya yang memancarkan air yang tetap bening. Sebening air mata.
Tulisan ini adalah tumpahan memori saya setelah membaca buku Tere Liye "Ayahku Bukan Pembohong" sungguh sangat berkesan...